BERITA
ACARA & HASIL
IMAKAHI
Fusion Discussion
Minggu, 15 Oktober
2019
“KONTROVERSI PERMENTAN NO. 3 TAHUN 2019 TENTANG
PELAYANAN JASA MEDIK VETERINER”
Pada
hari Minggu, 15 September 2019 Pengurus
Cabang Ikatan Mahasiswa Kedokteran Hewan Indonesia (PC IMAKAHI) Universitas
Airlangga (UNAIR) mengadakan forum diskusi bersama PC IMAKAHI Universitas
Brawijawa (UB) dan PC IMAKAHI Universitas Wijaya Kusuma Surabaya (UWKS)
bertempat di gedung Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Brawijaya, Malang.
Topik yang diangkat pada diskusi gabungan ini
tentang “Kontroversi Permentan No. 3 Tahun 2019 Tentang Pelayanan Jasa
Medik Veteriner”. Diskusi ini dihadiri oleh 44 peserta yang diantaranya adalah
13 pengurus cabang IMAKAHI UNAIR, 20 pengurus cabang IMAKAHI UB, 6 pengurus
cabang IMAKAHI UWKS, dan 5 perwakilan dari pengurus besar IMAKAHI.
Pada bulan Januari 2019 Kementrian Pertanian
menerbitkan produk hukum berupa PERMENTAN No. 03 tahun 2019 tentang pelayanan
jasa medik veteriner. Produk hukum ini disusun mengacu pada UU No. 18 tahun
2009 yang kemudian direvisi menjadi UU No. 41 tahun 2014 tentang peternakan dan
kesehatan hewan, serta PP No. 03 tahun 2017 tentang otoritas veteriner.
Terbitnya PERMENTAN No. 03 tahun 2019 ini menjadi latar belakang Ikatan Sarjana
Peternakan Indonesia (ISPI) menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) pada bulan Maret untuk mengkaji dan
mengkritisi peraturan tersebut, yang dianggap bersimpangan dengan produk hukum
terkait sebelumnya dan mempersempit ranah sarjana peternakan. Sebab pada UU no.
41 terkait Inseminasi Buatan (IB) dan
teknologi reproduksi dijelaskan pada BAB IV: Peternakan. Sedangkan pada
permentan disebutkan terdapat empat para medik veteriner (Paramedik Kesehatan
Hewan (KESWAN), Paramedik IB, Paramedik Pemeriksaan Kebuntingan (PKB), dan Paramedik
Asisten Teknik Reproduksi (ATR)) yang tiga di antaranya bergerak di bidang
reproduksi. Syarat menjadi paramedik veteriner salah satunya adalah memiliki Surat
Izin Praktik Paramedik Veteriner (SIPP). Berdasarkan pasal 1 ayat 9 PERMENTAN
No.03 tahun 2019 yang berbunyi “Tenaga
Paramedik Veteriner adalah Tenaga Kesehatan Hewan lulusan sekolah kejuruan,
pendidikan diploma, atau memperoleh sertifikat untuk melaksanakan urusan
kesehatan hewan yang menjadi kompetensinya dan dilakukan di bawah penyeliaan
dokter hewan” tidak disebutkan secara spesifik bahwa sarjana peternakan
termasuk lulusan yang dapat menjadi paramedik veteriner namun dapat diartikan
bahwa sarjana peternakan yang ingin bergerak di bidang teknologi reproduksi harus
menjadi paramedik veteriner yang ber-SIPP dan tidak bisa serta merta melakukan
kewenangan paramedik veteriner tanpa penyeliaan dokter hewan. Klasifikasi
paramedik veteriner belum pernah diatur dalam UU dan PP, hal inilah yang
membuat ISPI merasa bahwa ada ketidaksinkronan permentan dengan UU dan PP
terkait serta merasa ruang kerjanya dibatasi. Hasil kajian tersebut
dipublikasikan pada laman resmi ISPI pb-ispi.org. Selanjutnya, pada bulan Agustus PDHI
merespon dengan mengadakan FGD bersama ISPI dan mengasilkan beberapa
kesepakatan.
Hasil
Kesepakatan PDHI dan ISPI Usai FGD adalah
Pertama, ISPI dan PDHI sepakat untuk memisahkan Direktorat Jenderal
Peternakan (Eselon Satu) dan Direktorat Jenderal Kesehatan Hewan (Eselon Satu).
Kedua, ISPI dan PDHI sepakat untuk
memasukkan usulan Undang‐undang (UU) Peternakan dan Undang-undang Kesehatan
Hewan dipisah dan masuk dalam Progam Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2020
di DPR RI. Kedua belah pihak segera mempersiapkan draft undang-undang dengan memperhatikan harmonisasi perundangan
terkait. PDHI mengagendakan penyampaian usulan UU pada akhir Oktober 2019.
Penyampaian draft UU akan diusulkan secara bersama-sama untuk menghindari klausul
yang sama. Ketiga, ISPI dan PDHI
mendorong untuk Dinas teknis di daerah dikelola oleh tenaga yang berkompeten
atau sesuai dengan kompetensinya. Diharapkan kebijakan Otonomi Daerah tidak
kontra produktif dengan aturan UU di atasnya. Keempat, Disepakati adanya pertemuan lanjutan antara ISPI dan PDHI
untuk membahas draft UU peternakan dan UU Kesehatan Hewan. Berkaitan dengan
waktu ditentukan kemudian.
Sesi pertama
dibuka dengan pemaparan permasalahan oleh moderator yaitu :
1.
Adanya
ketidaksinkronan UU, PP, PERMENTAN.
2.
Dalam press realese kajian ISPI salah satunya menyebutkan secara lesgislasi, IB
dan teknologi reproduksi tidak termasuk dalam kewenangan dokter hewan.
3.
ISPI menyatakan
masih bisa mengklaim IB dan Teknologi sebagai kewenangan bagi Profesi Insinyur
Peternakan yang akan diusulkan.
Sesi kedua yaitu Focus Group Discussion (FGD) kemudian dilanjutkan pemaparan hasil
diskusi. FGD ini dibagi menjadi tiga kelompok dengan poin diskusi yaitu
wewenang dokter hewan pada bidang IB dan Teknologi Reproduksi yang
dipertanyakan oleh ISPI di bahas dari segi UU, PP, dan PERMENTAN yang berlaku. Kelompok
1 mengkaji dari sudut pandang UU No. 18 tahun 2009 dan UU No. 41 tahun 2014,
kelompok 2 mengkaji dari sudut pandang PP No. 3 tahun 2017, sedangkan kelompok
3 mengkaji dari sudut pandang PERMENTAN No. 3 tahun 2019. Dari diskusi
tersebut, kelompok 1memaparkan bahwa
pada pasal 68 C UU No. 41 tahun 2014 disebitkan bahwa dokter hewan bertugas
melaksanakan pengawasan dalam IB dan teknologi reproduksi. Selain pengawasan,
kelompok 1 juga berpendapat bahwa dokter hewan juga berwenang dalam pelaksanaan
walaupun hal ini tidak diatur oleh pasal yang jelas pada UU tersebut. Kelompok 2 memaparkan bahwa dalam pasal
35 PP No. 3 tahun 2017 dokter hewan memiliki wewenang dalam penyeliaan
teknologi reproduksi yang dilaksanakan oleh paramedik, sehingga dokter hewan
masih memiliki wewenang dalam IB. Hal ini juga berhubungan dengan tindakan
preventif untuk pencegahan penyakit zoonosis sehingga butuh keterlibatan dokter
hewan. Sehingga kelompok 2 tidak setuju dengan statement bahwa IB bukan termasuk wewenang dari dokter hewan. Kelompok 3 (PERMENTAN) memaparkan
kenyataan di lapangan bahwa sarjana peternakan bisa melaksanakan IB namun
memang harus bersetifikat dan dalam PERMENTAN No. 3 tahun 2019 disebutkan
dengan jelas bawha dokter hewan dapat melaksanakan IB. Sehingga, pada sesi
pemaparan FGD masing-masing kelompok, forum sepakat bahwa pelaksanaan IB masih
merupakan kewenangan dokter hewan.
Sesi ketiga merupakan diskusi bersama
antar kelompok. Pada diskusi ini semua kelompok menyadari adanya
ketidaksinkronan antar produk hukum yang menyebabkan beberapa pasal di dalamnya
menjadi kurang jelas. Hal ini menandakan bahwa harus ada usaha meluruskan dan
menyingkronkan tiap-tiap produk hukum terkait.
Poin-poin kesimpulan
dari diskusi ini ialah: 1) forum sepakat bahwa IB dan teknologi reproduksi
merupakan wewenang dokter hewan, 2) adanya ketidakjelasan dan ketidakselarasan antar
produk hukum terkait yang menyebabkan beberapa pasal di dalamnya menjadi rancu,
3) menyepakati harus adanya revisi produk hukum terkait 4) forum mendukung
rencana pemisahan Direktorat Jenderal sekaligus Undang-Undang Peternakan dan
Kesehatan Hewan .
Rekomendasi: 1)
mendukung pemisahan UU dan Dirjen antara Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2) mengajukan
permintaan kepada PDHI untuk melibatkan IMAKAHI sebagai organisasi praprofesi
dalam setiap proses dan perkembangan terkait rencana pemisahan UU dan Dirjen
Peternakan-Keswan, termasuk pada pertemuan ISPI dan PDHI pada Oktober mendatang,
3) merekomendasikan kepada PB IMAKAHI melalui Departemen Kajian Strategis untuk
memandatkan pada PC IMAKAHI lainnya agar melakukan kajian terkait topik ini mengingat
nasib profesi dokter hewan di masa mendatang akan turut ditentukan oleh
pergerakan-pergerakan dari organisasi praprofesi dalam hal ini IMAKAHI. Diharapkan
dengan pengadaan kajian-kajian terebut dapat mewadahi aspirasi anggota IMAKAHI
di seluruh wilayah Indonesia.
Diharapkan
dengan terlaksananya kegiatan IMAKAHI FUSION
DISCUSSION ini, IMAKAHI dapat terus peka terhadap masalah profesi dan ikut
turut serta mengawasi perubahan-perubahan yang ada. Serta diharapkan hasil
diskusi ini dapat menjadi acuan bagi PB IMAKAHI untuk turut serta terlibat
bersama PDHI dalam mengambil langkah perihal topik ini di masa yang akan
datang. (Tsalis)
Surat Rekomendasi hasil
IMAKAHI Fusion Discussion 2019
Daftar
Referensi
Republik Indonesia.
“Undang-Undang RI Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.”
Republik Indonesia.
“Undang-Undang RI Nomor 41 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.”
Republik Indonesia.
“Peraturat Pemerintah Nomor 3 Tahun 2017 tentang Otoritas Veteriner.”
Republik Indonesia.
“PERMENTAN Nomor 3 Tahun 2019 tentang Pelayanan Jasa Medik Veteriner.”
Komentar
Posting Komentar