PRESS RELEASE VETERINARY MULTIDICIPLINE FORUM 2021


Berangkat dari isu mengenai perubahan iklim yang dapat menimbulkan munculnya berbagai penyakit yang menyebar dari hewan ke manusia atau bisa dikenal sebagai penyakit zoonotik. Hal tersebut menyinggung tiga bidang yang sangat berkaitan yaitu kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan. Oleh karena itu, perlu adanya pendekatan one health untuk pengendalian zoonosis. Konsep one health ini yang kemudian dikemas dalam suatu acara bernama Veterinary Multidiscipline Forum (VMF). VMF merupakan suatu program kerja baru yang diadakan oleh bidang Pengabdian Masyarakat, Zoonosis, dan Kesehatan Masyarakat Veteriner (PZK) bekerja sama dengan Asian Medical Students Association (AMSA), Himpunan Mahasiswa Teknik Lingkungan (HMTL) dan Kelompok Studi Lingkungan (KSL) Universitas Airlangga dengan topik “Pengaruh Perubahan Iklim terhadap Perkembangan Penyakit Zoonosis” pada Minggu (14/11). Webinar yang diselenggarakan melalui platform daring Zoom tersebut dimoderatori oleh Suwaibatul Annisa, S.Kh dan dibawakan oleh tiga pemateri dari tiga bidang ilmu yang berbeda. Lebih dari 150 peserta mengikuti webinar VMF.

Webinar ini dimulai dengan pemaparan materi yang disampaikan oleh Putri Damayanti Potabuga, S.IP, M.Si., direktur dan pendiri Climate Institute, suatu institusi yang berdiri sejak 2015 dan bergerak di bidang edukasi mengenai perubahan iklim. Pada sesi pertama pembahasan menyorot pada “Proses Perubahan Iklim di Indonesia yang Mempengaruhi Perkembangan Penyakit Zoonotik”. Materi yang disampaikan diawali dengan konsep “Climate Change”, faktor perubahan iklim, dampak perubahan iklim, konsep “Climate Justice”, alur dampak perubahan iklim terhadap kesehatan manusia, keterkaitan perubahan iklim dengan penyakit zoonosis, prevalensi kasus zoonosis, upaya preventif perubahan iklim, adaptasi dan mitigasi level individu, serta diakhiri dengan ajakan memulai gerakan hidup baru yang lebih ramah lingkungan demi meminimalisasi dampak yang dapat ditimbulkan dari perubahan iklim.

Climate change atau perubahan iklim diartikan sebagai perubahan pola dan intensitas unsur iklim. Bentuk perubahan ini berkaitan dengan perubahan kebiasaan cuaca atau perubahan persebaran kejadian cuaca yang pada akhirnya mengakibatkan efek Gas Rumah Kaca (GRK). Pada dasarnya gas rumah kaca dibutuhkan untuk menjaga suhu bumi tetap stabil. Akan tetapi, konsentrasi gas rumah kaca yang semakin meningkat dapat membuat lapisan atmosfer menjadi semakin tebal. Penebalan lapisan atmosfer mejadi alasan utama peningkatan suhu bumi atau biasa disebut dengan pemanasan global karena jumlah panas bumi yang terperangkap di atmosfer bumi semakin banyak. Adapun penyebab perubahan iklim terdiri atas faktor natural dan faktor alamiah. Orbit bumi, cahaya matahari, dan kondisi volkano merupakan faktor natural. Apabila bicara mengenai faktor alamiah merupakan dimana manusia terlibat di dalamnya yang meliputi efek gas rumah kaca, pemanasan global, kerusakan lapisan ozon, kerusakan fungsi hutan, penggunaan Chlorofluorocarbon (CFC) yang tidak terkontrol, dan limbah gas industri. Perubahan iklim ini pun menimbulkan dampak yang sangat merugikan bagi kelangsungan hidup penghuni bumi, yaitu manusia, hewan, dan tumbuhan. Dampak dari perubahan iklim dapat berupa tingginya curah hujan, terjadinya bencana alam angin puting beliung, musim kemarau yang berkepanjangan, berkurangnya sumber air, serta meningkatnya volume air akibat mencairnya es di kutub. 

Terdapat banyak hal yang dapat dilakukan, dimulai dari diri sendiri untuk mencegah dan mengurangi dampak perubahan iklim. Mulailah membiasakan diri dengan menggunakan produk yang ramah lingkungan (mencegah pemakaian plastik sekali pakai), melakukan 5R (rethink, reduce, reuse, recycle, replace), menggunakan kendaraan umum, mengurangi pemakaian gas aerosol, serta menanam pohon untuk meredam kenaikan gas rumah kaca.

Sesi kedua webinar dengan pemateri Drh. Tri Satya Putri Naipospos, M.Phil., Ph.D. (Ketua Badan Pengurus Center for Indonesian Veterinary Analytical Studies) mengangkat topik “Pengaruh Perubahan Iklim pada Perkembangan Penyakit Hewan dan Zoonosis”. Berikut adalah cuplikannya.

Isu mengenai perubahan iklim sudah tidak asing lagi di telinga semua orang. Hal tersebut merupakan isu global yang sangat penting dan genting, terlebih bagi Indonesia. Presiden RI, Joko Widodo, hadir dalam pertemuan G2O di Itali pada tanggal 30-31 Oktober 2021 lalu. G2O yang terdiri dari 7 negara G7 dan 13 negara besar sebagai penyumbang kurang lebih 60% dari emisi gas kaca dunia menjadikan pemanasan global dan perubahan iklim sebagai isu sentral dalam pertemuan tersebut. Meskipun seluruh dunia terjebak dalam kondisi lockdown di awal 2020, hal ini tidak mengubah emisi gas kaca global yang terjadi. World Economic Forum dalam The Global Risk Report 2021 pun menyatakan perubahan iklim terus menjadi risiko bencana yang besar. Potensi dampak masa depannya mencakup climate action failure, kebakaran hutan, periode kekeringan dan tingginya intensitas badai tropis.

Perubahan iklim juga memberikan dampak pada hewan. Pada 2021, diestimasi ada 19,6 miliar ayam, 1,4 miliar sapi, dan 980 juta babi yang dipelihara sebagai ternak di seluruh dunia. Dimana hal tersebut dapat dinyatakan bahwa jumlah hewan ternak lebih banyak dari jumlah manusia dan semua satwa liar yang ada di bumi, bahkan jika digabung. Oleh karena itu, dampak yang paling signifikan terhadap kematian 20% ruminansia dan lebih dari 50% unggas berasal dari beban penyakit hewan menular di negara berkembang yang menyebabkan kerugian hingga Rp 4,269 triliun per tahun.

Sebelum munculnya penyakit menular baru seperti SARS dan H5N1, isu hewan dalam perdebatan internasional kerap dikaitkan dengan biodiversitas yang terancam karena perubahan iklim dan peran produksi ternak seperti deforestasi dan emisi gas rumah kaca. Office des international (OIE) menekankan bahwa perubahan iklim memiliki pengaruh yang sangat erat dengan hospes, vektor, dan patogen sehingga berdampak terhadap siklus penularan penyakit dari hewan ke manusia (spillover) dan membawa orang dan ternak melakukan kontak dengan satwa liar. Penyakit-penyakit tropis yang ditularkan vektor seperti Rift Valley Fever (RVF) dan malaria sangat sensitif terhadap kondisi iklim. Tak hanya itu, perubahan iklim juga mempengaruhi distribusi dan migrasi burung liar yang membawa virus avian influenza. Di antara 65 penyakit hewan, 58% sensitif terhadap iklim.

Pemanasan global (global warming) dan peningkatan karbon dioksida dapat merubah kondisi cuaca seperti fluktuasi temperatur permukaan, gelombang panas, kekeringan, bahkan angin topan. Secara kolektif, efek ini bisa mempengaruhi jangkauan geografis dari berbagai penyakit menular yang menyerang hewan dan manusia, terutama infeksi yang insidensinya terjadi secara musiman atau bergantung pada keberadaan vektor di alam. Nyamuk-nyamuk dapat berkembang lebih cepat, menggigit lebih sering, kandungan virus di nyamuk lebih tinggi, dan menjadi carrier suatu penyakit karena banyak orang yang terinfeksi.

Kasus di Indonesia yang telah dilaporkan pada 9 provinsi adalah leptospirosis, diidentifikasi oleh WHO sebagai penyakit tropis yang terabaikan (neglected tropical disease), yang ditularkan melalui berbagai macam hewan yang menjadi pembawa bakteri Leptospira. Adapun faktor risikonya, manusia dapat terinfeksi melalui kontak langsung dengan hewan atau terpapar dengan urin hewan. Dengan perubahan iklim global, peristiwa cuaca ekstrim seperti topan dan banjir memiliki potensi yang besar dalam peningkatan wabah Leptospirosis.

One health merupakan ide bahwa kesehatan manusia memiliki keterkaitan dengan kesehatan hewan dan lingkungan. Kemudian one health menjadi penting begitu populasi bumi bertumbuh dan hubungan manusia dengan hewan dan juga lingkungannya berubah karena memiliki peranan dalam mengatasi ancaman kesehatan bersama dengan melihat semua aspek. Surveillans suatu penyakit yang ditularkan oleh vektor melibatkan unsur one health serta bergantung pada penyakitnya seperti RVF, WNF, atau lainnya.

Kesimpulan yang diberikan Dokter Tata adalah One Health bisa membantu mengendalikan penyakit zoonosis, terutama yang merupakan dampak dari perubahan iklim. Dikarenakan iklim mempunyai pengaruh terhadap penyakit hewan dan zoonosis terutama yang ditularkan oleh vektor dan berlangsung dalam jangka panjang. Surveilans penting untuk memonitor perubahan pola perubahan iklim dan cuaca. Peningkatan surveillans penyakit dan respons dengan data iklim digunakan untuk pemetaan risiko (risk mapping). 

Sesi ketiga webinar dengan pemateri Dr. dr. Budi Utomo, M.Kes (Lektor Ilmu Kesehatan Masyarakat FK Unair) mengangkat topik “Hubungan Antara Perubahan Iklim dan Kerentanan Infeksi Penyakit Zoonotik pada Manusia”. Berikut adalah cuplikannya.

Di Indonesia, penyakit Zoonosis termasuk penyakit yang neglected (terabaikan). Padahal, letak geografis Indonesia adalah tempat yang sesuai untuk perkembangan penyakit zoonosis. Penyakit zoonosis pun sudah menyebar ke seluruh dunia. Hal ini dibuktikan dari fakta bahwa 70% patogen yang ada menyebabkan penyakit zoonosis dan 80% emerging disease merupakan penyakit zoonosis.

Terdapat beberapa faktor yang memicu terjadinya zoonosis, di antaranya adalah perubahan perilaku dan demografis, perubahan lingkungan, adaptasi mikrobial, serta kemajuan di bidang teknologi dan transportasi. Lebih lanjut lagi, determinan lingkungan yang berhubungan dengan penyakit adalah sanitasi, faktor genetik, faktor sosial dan ekonomi, perjalanan penyakit, dan perubahan iklim. Selain itu, perubahan lingkungan juga berpengaruh terhadap daya tahan tubuh manusia, baik secara langsung maupun tidak.

Penyelesaian masalah zoonosis memerlukan one health, yaitu kerja sama global yang bersifat multidisipliner dengan tujuan untuk membuat manusia, hewan, dan lingkungan sejahtera. Tanpa one health, semua pihak akan saling melempar tanggung jawab dalam penyelesaian masalah zoonosis. Pada akhirnya, yang akan terjadi adalah disintegrasi sehingga penanganan zoonosis menjadi tidak optimal.

The greenhouse effect adalah pemanasan bumi yang disebabkan gas-gas “rumah kaca” seperti CO2 dan metana. Sebenarnya, gas-gas ini berfungsi untuk menangkap panas dan memantulkan kelebihan panas yang tidak diperlukan. Namun, karena struktur atmosfer yang berubah, panas yang terperangkap makin meningkat dan akhirnya terjadilah global warming (pemanasan global).

Pemanasan global adalah peningkatan suhu rata-rata permukaan bumi, sedangkan climate change (perubahan iklim) adalah perubahan jangka panjang yang meliputi perubahan rata-rata temperatur dan berbagai hal lain. Pemanasan global dan perubahan iklim tidak diragukan lagi merupakan ulah manusia. Oleh karena itu, diperlukan upaya-upaya, walau sekecil apa pun, untuk mencoba menghentikan dampak negatif perubahan iklim.

Iklim adalah efek jangka panjang, sedangkan cuaca adalah efek jangka pendek. Efek dari iklim adalah tren rata-rata pola cuaca di suatu lokasi. Iklim membatasi jangkauan penyakit menular. Contoh dari dampak iklim adalah malaria di dataran tinggi Kenya. Sementara itu, cuaca adalah kondisi iklim per hari di suatu lokasi. Cuaca mempengaruhi lama waktu dan intensitas epidemi. Contoh dari dampak cuaca adalah KLB (Kejadian Luar Biasa) demam dengue di Sumatra.

Perubahan iklim bisa menyebabkan berbagai hal, seperti meningkatkan jumlah reservoir dan vektor, meningkatkan transmisi, dan meningkatkan risiko terkena penyakit. Contohnya adalah prevalensi penyakit yang ditransmisikan oleh tikus cenderung meningkat pada musim hujan karena terjadi perubahan pola interaksi antara manusia dengan tikus. Di sisi yang lain, perubahan cuaca bisa mempengaruhi distribusi geografis, tingkat kelangsungan hidup vektor, kelajuan pertambahan populasi vektor, serta frekuensi makan vektor dan kontak dengan inang. Contohnya adalah fluktuasi kasus malaria sepanjang tahun yang kemungkinan besar terjadi karena perubahan temperatur sepanjang tahun.

Menurut IHR (2005), vektor adalah serangga atau hewan yang bisa membawa bibit penyakit dan merupakan suatu risiko untuk kesehatan masyarakat. Beberapa contoh vektor adalah nyamuk, kecoa, dan tikus. Keberadaan vektor perlu diwaspadai karena beberapa penyakit zoonosis ditularkan melalui vektor. Jika keberlangsungan hidup vektor meningkat, kesempatannya untuk kontak dengan manusia juga meningkat. Hal ini akan meningkatkan probabilitas manusia untuk terinfeksi.

Proyeksi menggunakan pendekatan analitik dan statistik diperlukan untuk memprediksi risiko penyakit vector borne agar dapat diantisipasi. Proyeksi ini mampu melihat hubungan potensial antara penyakit vector borne dengan iklim, tetapi masih belum dapat mengkonfirmasi dengan tepat penyebabnya. Proyeksi juga masih belum mampu untuk memperhitungkan faktor non-iklim. Selain itu, data yang diperlukan untuk membuat proyeksi secara akurat belum tersedia. Walaupun begitu, masih terdapat banyak peluang untuk beradaptasi, seperti dengan melakukan surveilans, pencegahan, dan peningkatan kemampuan fasilitas kesehatan.

Kesimpulan yang diberikan oleh dr. Budi adalah bahwa perubahan iklim akan mempengaruhi distribusi dan insidens dari zoonosis di seluruh dunia, tetapi dengan efek yang berbeda-beda di tiap hari. Dalam penanggulangannya, diperlukan asesmen risiko penyakit zoonosis. Namun, hal yang mempersulit dilakukannya asesmen risiko salah satunya adalah siklus transmisi yang kompleks dan memiliki multideterminan. 



Komentar

Postingan Populer