IMFOSSION:
“EFEK MEDIA SOSIAL TERHADAP PROFESI DOKTER HEWAN”
Lebih
dari 100.000.000 orang di Indonesia menggunakan media sosial. Media sosial
adalah media online yang mendukung
interaksi sosial. Media sosial sendiri memiliki fungsi sebagai sebuah media online yang para penggunanya bisa dengan
mudah mengunggah, mengunduh, berbagi, dan menciptakan konten.
Dari
berbagai manfaat media sosial yang telah diketahui, terdapat beberapa
pergeseraan fungsi dari media sosial saat ini. Hal tersebut yang menarik dan
menjadi perhatian PC IMAKAHI UNAIR untuk mengangkat topik diskusi ini. Hal
menarik lainnya yaitu ditemukannya unggahan-unggahan masyarakat umum yang bukan
dokter hewan namun memberikan informasi dengan tujuan mengajari penontonnya
untuk melakukan tindakan medis secara mandiri terhadap hewan peliharaannya.
Bahkan ditemukan pula unggahan oleh mahasiswa FKH sendiri yang berisi konten
sensitif seperti rekaman saat kegiatan praktikum semasa kuliah, operasi pada
hewan, dan konten medis lainnya yang diunggah di akun media sosial. Sebagian
besar unggahan tersebut dapat dilihat oleh publik tanpa adanya filter bagi
pengguna lain. Unggahan-unggahan tersebut dapat membuka peluang
disalahgunakannya ilmu medis tersebut oleh masyarakat luas. Bahkan beberapa
video memiliki jumlah penonton yang mencapai 1000 lebih. Apakah dapat
dipastikan bahwa semua angka itu datang dari akun milik mahasiswa kedokteran
hewan dan dokter hewan?
Selain
itu, sering pula didapati kasus dokter hewan yang viral akibat dari cepatnya informasi tersebut diteruskan ke orang
lain melalui media sosial. Padahal, belum tentu informasi yang disebarluaskan
adalah benar. Kasus-kasus yang viral
di media sosial tentunya sedikit banyak berdampak terhadap pemikiran masyarakat
terhadap profesi dokter hewan secara keseluruhan.
Sebagai
dokter hewan dan calon dokter hewan, sudahkah kita berpikir lebih jauh tentang
dampak yang dapat diterima oleh masyarakat luas dan profesi kita akibat dari
unggahan-unggahan yang kurang bijak di dunia maya? Lantas bagaimana sikap yang
tepat sebagai dokter hewan dan calon dokter hewan sebagai pengguna media sosial
apabila mendapati kasus seperti di atas? Hal tersebut yang mendorong PC IMAKAHI
UNAIR untuk mengadakan diskusi terkait hal ini dilihat dari sudut pandang UU
ITE dan Kode Etik Profesi Dokter Hewan.
Acara
dibuka dengan pemaparan materi yang disampaikan oleh drh. R. Budi Prasetyo.
S.H. Beliau merupakan bagian dari Badan Perlindungan Hukum Perhimpunan (BPHP)
Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PB PDHI). Beliau memaparkan
materi tentang penggunaan media sosial dari sudut pandang UU ITE dan Kode Etik
Dokter Hewan. Beliau menjelaskan bahwa menggunakan media sosial merupakan hak.
Menyampaikan pendapat dan mengembangkan diri
di dunia nyata maupun di dunia maya adalah hak tiap individu yang
dilindungi oleh negara karena diatur dalam UUD 1945 pasal 28E dan 28F.
Penyampaian materi oleh drh. R. Budi Prasetyo. S.H.
Dengan
dilindunginya hak-hak warga negara untuk berpendapat dan memperoleh informasi,
bukan berarti hak tersebut dapat digunakan tanpa batasan, terutama dalam media
sosial. Masyarakat dituntut bijak dalam menggunakan media sosial, maka dari itu
dibuatlah undang-undang yang mengatur hal tersebut, yaitu UU ITE No. 19 Tahun
2016.
UU ITE No. 19 Tahun 2016
Pasal
27
(3)
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang memiliki muatan
penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Pasal 28
(1) Setiap
Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen
dalam Transaksi Elektronik.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak
menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok
masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan
(SARA).
Pasal
29
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan
atau menakut-nakuti yang ditujukan
secara pribadi.
Berdasarkan UU ITE di atas, unggahan
apapun yang mengandung muatan penghinaan atau pencemaran nama baik, ujaran
kebencian, berita bohong yang menyesatkan, dan hal-hal yang menakut-nakuti atau
meresahkan merupakan bentuk pelanggaran terhadap undang-undang tersebut.
Tersebarnya unggahan-unggahan sejenis juga tidak lepas dari orang-orang yang
membagikannya. Maka sebagai bagian dari profesi dokter hewan, bila menemukan
berita atau kasus terkait profesi dokter hewan yang belum jelas
permasalahannya, seyogyanya untuk tidak terburu-buru meneruskan berita tersebut
ke masyarakat yang lebih luas. Tak jarang pula didapati akun-akun media sosial
milik mahasiswa kedokteran hewan dan dokter hewan yang turut memberikan ujaran
kebencian di kolom komentar tentang sejawat lainnya yang sebenarnya telah
melanggar UU ITE.
Selain itu, unggahan terkait disturbing content yang seringkali
ditemui pada akun-akun media sosial pribadi milik mahasiswa maupun dokter hewan
merupakan bentuk lain dari jenis unggahan yang meresahkan. Seperti foto atau
video yang memuat proses operasi, kegiatan praktikum, dan konten-konten lainnya
yang melibatkan darah dan kadaver. Konten tersebut bukanlah hal yang dapat
dikonsumsi publik secara luas. Maka dari itu perlunya seseorang bijak dalam
menggunakan media sosialnya. Sebab masing-masing dari kita merupakan perwakilan
dari profesi kita.
Beliau melanjutkan, bahwa
masalah ini juga dapat dikaji dari sudut pandang Kode Etik Profesi Dokter
Hewan. Kode Etik Profesi Dokter Hewan memiliki dua sumber, yakni Sumpah Dokter
Hewan dan Kode Etik Dokter Hewan Indonesia (Lampiran TAP. Nomor 07 / Kongres
ke-16 / PDHI / 2010). Berikut isi dari Sumpah Dokter Hewan:
“Dengan diterimanya diri saya masuk
profesi Dokter Hewan maka saya bersumpah / berjanji bahwa:
1.
Akan mengabdikan diri saya, ilmu
pengetahuan dan keterampilan yang saya miliki kepada perbaikan mutu, peringanan
penderitaan serta perlindungan hewan demi kesejahteraan masyarakat.
2.
Akan menggunakan ilmu pengetahuan dan
keterampilan yang saya miliki berlandaskan perikemanusiaan dan kasih sayang
kepada hewan.
3.
Akan memberikan pertimbangan utama untuk
kesembuhan, kesehatan dan kesejahteraan pasien saya, kepentingan tertinggi
klien dengan mempertaruhkan kehormatan profesi dan diri saya.
4.
Saya
tidak akan menggunakan pengetahuan yang berlawanan dengan hukum perikemanuasiaan
atau menyimpang dari Kode Etik profesi saya.
Sumpah/janji
ini saya ucapkan di hadapan Tuhan Yang Maha Esa.”
Berikut beberapa pasal dari Kode Etik Dokter Hewan
Indonesia yang menjadi dasar pada pembahasan ini:
KODE ETIK DOKTER HEWAN
KEWAJIBAN UMUM
Pasal 1
Dokter
Hewan merupakan Warga Negara yang baik yang memanifestasikan dirinya dalam cara
berfikir, bertindak dan menampilkan diri dalam sikap dan budi pekerti luhur dan penuh sopan santun.
Pasal 5
Dokter
Hewan wajib mematuhi perundangan dan
peraturan yang berlaku.
KEWAJIBAN TERHADAP PROFESI
Pasal 10
Dokter
Hewan tidak mengajarkan ilmu
kedokteran hewan yang bisa mendorong ilmu tersebut disalah gunakan.
Pasal 15
Dokter
Hewan tidak membantu atau mendorong adanya praktek ilegal bahkan wajib melaporkan bilamana mengetahui adanya
praktek ilegal itu.
Berdasarkan pasal 10 dan 15, jelas
disebutkan bahwa dokter hewan dilarang mengajarkan ilmu kedokteran hewan
(medis) yang dapat mendorong ilmu tersebut disalah gunakan. Mengedukasi masyarakat
adalah hal yang baik. Namun harus dipahami sampai manakah batasan edukasi
tersebut. Terlebih lagi bila ilmu medis tersebut disampaikan oleh seseorang
yang tidak ada kaitannya dengan profesi kesehatan dalam hal ini khususnya
dokter hewan. Sehingga mengunggah video penjelasan anatomi (seperti foto
terlampir) yang disampaikan oleh mahasiswa kedokteran hewan (belum dokter
hewan) dan membagikannya dengan mode publik, merupakan tindakan yang kurang
bijak. Tidak ada jaminan bahwa ilmu yang disampaikan tersebut tidak akan
disalahgunakan oleh orang di luar domain profesi kita, selain itu tidak dapat
diprediksi kapan kebenaran suatu ilmu dapat bergeser, menjadikan ilmu yang
disampaikan adalah suatu hal yang tidak lagi benar.
KEWAJIBAN TERHADAP KLIEN
Pasal 21
Dokter
Hewan tidak menanggapi keluhan
(complain) versi klien mengenai sejawat
lainnya.
KEWAJIBAN TERHADAP SEJAWAT DOKTER HEWAN
Pasal 23
Dokter
Hewan memperlakukan sejawat lainnya seperti dia ingin diperlakukan seperti
terhadap dirinya sendiri.
Pasal 24
Dokter
Hewan tidak akan mencemarkan nama
baik sejawat Dokter Hewan lainnya.
Pasal 21, 23, dan 24 menegaskan
bahwa turut mengomentari secara negatif tentang sejawat dokter hewan lainnya
merupakan suatu bentuk pelaggaran kode etik. Turut membagikan berita negatif
yang dapat berdampak pada nama baik sejawat maupun profesi dan berpotensi
menyebarkan keresahan di masyarakat termasuk ke dalamnya.
PENUTUP
Pasal 29.
Dokter
hewan harus berusaha dengan sungguh – sungguh menghayati dan mengamalkan Kode
Etik Dokter Hewan dalam pekerjaan profesinya sehari – hari, demi untuk mengabdi
kepada masyarakat, bangsa dan negara.
Kode Etik Dokter Hewan
Indonesia, merupakan perjanjian yang mengikat setiap Dokter Hewan untuk
mematuhi norma-norma
dan nilai-nilai yang baik dan buruk, salah dan benar yang disepakati nasional
dan berlaku bagi korps profesi dokter hewan di Indonesia,
harus dihayati dan
diimplementasikan secara bertanggung
jawab dalam menjalani profesinya.
Hasil
dari forum diskusi yang dihadiri oleh 41 peserta termasuk mahasiswa S1,
mahasiswa koas (PPDH), dan mahasiswa S2 FKH UNAIR ini ialah: 1) Perlunya
mahasiswa kedokteran hewan sadar akan sikap apa yang harus dijaga dalam
menggunakan media sosial, 2) Perlunya memahami dan mengamalkan isi dari UU ITE
dan Kode Etik Dokter Hewan dalam bermedia sosial, dan 3) Perlunya penyepahaman
batas-batas edukasi yang dilakukan oleh mahasiswa maupun dokter hewan terhadap
masyarakat luas terkait ilmu kedokteran hewan. Rekomendasi: 1) Perihal unggahan yang memuat proses operasi,
kegiatan praktikum, dan konten-konten lainnya yang melibatkan darah dan
kadaver, atau secara umum dapat disebut disturbing
content, serta konten yang mengandung ilmu medis dokter hewan yang diunggah
dengan mode publik, maka baiknya hasil dari diskusi ini dapat dilampirkan dan
diserahkan sebagai rekomendasi kepada departemen-departemen terkait di FKH
UNAIR agar dapat menertibkan atau mengeluarkan regulasi terkait sehingga
dapat mencegah dampak negatif yang telah dikaji pada diskusi ini, 2)
Diadakannya sosialisasi terkait hal ini kepada seluruh mahasiswa khususnya
mahasiswa baru FKH UNAIR tiap tahunnya, dan 3) IMAKAHI sebagai wadah bagi
seluruh mahasiswa kedokteran hewan Indonesia diharapkan dapat turut
menyosialisasikan nilai-nilai dari hasil diskusi ini.
Diharapkan dengan terlaksananya acara IMFOSSION ini,
mahasiswa kedokteran hewan dapat bijak menggunakan media sosial dengan
memeperhatikan sudut pandang UU ITE dan Kode Etik Dokter Hewan. Serta
diharapkan hasil diskusi ini dapat menjadi acuan bagi kolega dokter hewan dan
PDHI dalam mengambil langkah perihal topik ini di masa yang akan datang.
Komentar
Posting Komentar