Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) adalah penyakit viral yang sangat menular pada hewan berkuku genap seperti sapi, kerbau, kambing, domba, dan babi. Penyakit ini disebabkan oleh foot-and-mouth disease virus (FMDV) dari genus Aphtovirus dalam famili Picornaviridae. Virus ini memiliki genom RNA untai tunggal dengan tujuh strain utama, yaitu A, O, C, Asia 1, SAT 1, SAT 2, dan SAT 3. PMK memiliki dampak yang signifikan terhadap sektor peternakan karena dapat menurunkan produktivitas ternak, seperti penurunan produksi susu hingga 50%, melambatnya pertumbuhan bobot badan, serta penurunan kualitas daging. Penyakit ini juga berdampak besar pada ekonomi nasional, terutama melalui pembatasan perdagangan internasional akibat larangan impor produk hewan dari wilayah yang terinfeksi.
Sejarah PMK di Indonesia mencatat bahwa penyakit ini pertama kali ditemukan pada tahun 1887 di Jawa Timur. Berkat upaya pengendalian intensif, seperti vaksinasi massal dan pemusnahan hewan terinfeksi, Indonesia berhasil bebas PMK pada tahun 1986 dan mendapat pengakuan dari Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE). Namun, pada tahun 2022, PMK kembali merebak di beberapa provinsi setelah lebih dari tiga dekade dinyatakan bebas. Kembalinya wabah ini menimbulkan kerugian ekonomi yang besar, terutama bagi peternak kecil yang kehilangan mata pencaharian akibat kematian atau pemusnahan ternak. Pemerintah harus mengeluarkan biaya besar untuk pengendalian wabah melalui vaksinasi massal, pembatasan pergerakan ternak, dan edukasi peternak mengenai langkah pencegahan.
Selain dampak ekonomi, PMK juga mempengaruhi kondisi sosial masyarakat. Keresahan meningkat karena kekhawatiran terhadap penyebaran penyakit serta ancaman terhadap keamanan pangan akibat penurunan kualitas produk hewani. Dalam upaya pengendalian, pemerintah Indonesia telah melakukan vaksinasi massal, pembatasan pergerakan ternak, dan meningkatkan sistem karantina untuk mencegah penyebaran lebih lanjut. Kerjasama dengan organisasi internasional seperti OIE juga dilakukan untuk mendapatkan bantuan teknis dan dukungan vaksin. Untuk mengatasi PMK secara efektif, diperlukan langkah cepat dan koordinasi erat antara pemerintah, peternak, dan masyarakat, disertai penerapan sistem biosekuriti yang ketat.
Kembalinya Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) di Indonesia setelah 32 tahun bebas PMK disinyalir terkait dengan perubahan kebijakan impor ternak dan produk ternak yang semakin longgar. Awalnya, Indonesia menerapkan kebijakan "country-based" melalui UU No. 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan. Kebijakan ini melarang impor dari negara yang belum dinyatakan bebas PMK oleh OIE. Namun, pada tahun 2009, kebijakan ini diubah menjadi "zona-based" melalui UU No. 18 Tahun 2009, yang memungkinkan impor dari wilayah tertentu di negara endemik PMK jika wilayah tersebut dinyatakan bebas penyakit.
Perubahan ini memicu protes dari berbagai pihak hingga Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan pada tahun 2009 untuk mengembalikan aturan ke "country-based." Sayangnya, pada tahun 2014, pemerintah kembali mengubah kebijakan menjadi "zona-based," yang disahkan oleh MK melalui Putusan No. 129/PUU-XIII/2015. Produk hukum turunannya, seperti PP No. 4/2016, Permentan No.17/Permentan/PK.450/5/2016 dan SK Mentan No.2556/2016 memperbolehkan impor daging dari negara seperti India, meskipun India belum bebas PMK dan tidak memiliki zona bebas PMK. Upaya masyarakat peternak untuk membatalkan PP tersebut melalui Mahkamah Agung (MA) gagal, sehingga impor daging dari India menjadi legal.
Impor daging sapi dan kerbau dari India, negara endemik PMK dengan dominasi virus serotipe A, O, dan Asia 1, meningkat signifikan sejak 2016. Data menunjukkan peningkatan dari 33,81% dari total impor pada 2016 menjadi 51,91% pada 2020. Selain India, impor juga dilakukan dari Brasil, yang statusnya belum bebas PMK. Kebijakan ini diduga menjadi penyebab utama munculnya kembali wabah PMK di Indonesia pada 2022.
Wabah ini tidak hanya merusak reputasi Indonesia sebagai negara bebas PMK tanpa vaksinasi, tetapi juga mengingatkan akan pentingnya penerapan biosekuriti yang ketat. Biosekuriti adalah langkah strategis untuk mencegah masuknya penyakit melalui prosedur standar di kawasan peternakan atau wilayah negara. Outbreak PMK di Indonesia menegaskan perlunya kebijakan hukum yang mendukung pengendalian penyakit hewan. Upaya untuk kembali memperoleh status bebas PMK membutuhkan komitmen, kerja sama lintas sektor, dan pendekatan sistemik dalam pengendalian penyakit.
Sebagai mahasiswa kedokteran hewan, ada banyak kontribusi yang dapat dilakukan dalam menghadapi wabah Penyakit Mulut dan Kuku (PMK). Salah satu langkah utama adalah meningkatkan edukasi kepada peternak melalui penyuluhan tentang gejala klinis PMK, pentingnya praktik biosekuriti, dan pelaporan kasus secara dini kepada otoritas veteriner. Selain itu, mahasiswa dapat berpartisipasi langsung dalam program vaksinasi massal dengan membantu pelaksanaan vaksinasi, pendataan ternak, serta monitoring dan evaluasi hasil vaksinasi. Dalam mendukung surveilans epidemiologi, mahasiswa juga dapat terlibat dalam pengumpulan data, pengambilan sampel, serta analisis pola penyebaran penyakit untuk membantu penyusunan rekomendasi pengendalian.
Mahasiswa kedokteran hewan juga dapat memainkan peran penting dalam advokasi kebijakan berbasis ilmiah dengan memberikan masukan kepada pembuat kebijakan, misalnya mendorong penerapan kembali pendekatan “country-based” dalam kebijakan impor ternak dan produk ternak. Selain itu, melalui penelitian kolaboratif, mahasiswa dapat membantu pengembangan alat diagnostik cepat, mengevaluasi efektivitas vaksin, dan mencari solusi inovatif lainnya, seperti penggunaan imunostimulan alami. Membentuk komunitas peduli kesehatan hewan juga menjadi langkah strategis untuk memperluas jangkauan edukasi, menggalang dana, serta mendukung pengendalian penyakit di lapangan.
Dengan memperkuat kolaborasi antara peternak, otoritas veteriner, akademisi, dan organisasi masyarakat, mahasiswa dapat membantu menciptakan pendekatan terpadu untuk pengendalian PMK. Peran aktif ini tidak hanya mendukung keberlanjutan sektor peternakan tetapi juga memperkuat langkah Indonesia menuju kembali pada status bebas PMK.
Referensi:
Komentar
Posting Komentar