PRESS RELEASE IMAKAHI DISCUSSION FORUM (IDIOM) 1 : “Penangkaran Ilegal Satwa Liar, Menyelamatkan Satwa atau Sebaliknya?”


Selasa, 30 Maret 2021

Disusun oleh Bidang Kebijakan Profesi PC IMAKAHI UNAIR 2021





Bidang Kebijakan Profesi Pengurus Cabang Ikatan Mahasiswa Kedokteran Hewan Indonesia Universitas Airlangga mengadakan diskusi yang diikuti oleh 52 mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan UNAIR yang membahas tentang permasalahan terkait penangkaran ilegal satwa liar yang akhir – akhir ini kembali marak di masyarakat. Diskusi ini diselenggarakan pada hari Selasa, 30 Maret 2021 melalui aplikasi Zoom Cloud Meeting.

Merebaknya kasus penangkaran ilegal satwa liar sebagai wujud praktek eksploitasi satwa liar tidaklah sesuai dengan prinsip-prinsip kelestarian di Indonesia akhir – akhir ini menjadi suatu pemantik pemikiran bahwa wawasan tentang larangan memelihara satwa liar dilindungi yang masih minim di Indonesia. Seperti salah satu kasus yang terjadi (Pada bulan) Februari 2021 lalu, Ditjen KSDAE dan BKSDA menemukan penangkaran burung dilindungi di Sukabumi yang diketahui menjadi salah satu sarang dari perdagangan satwa ilegal. Kasus tersebut dapat dilihat dari beberapa aspek. 

Penangkaran ilegal satwa liar termasuk dalam tindak pidana yang sanksinya telah diatur dalam Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya. Pemerintah juga mengeluarkan PP RI No. 8 Tahun 1999 yang pada pasal 15 berisi persyaratan untuk mendapatkan surat izin penangkaran satwa liar. Kedua, dari aspek kesehatan satwa dan penangkar ilegalnya, akibat dari interaksi yang terjadi dalam sebuah penangkaran berpotensi menyebabkan penularan penyakit antara hewan dan manusia. Ketiga, dari aspek kesejahteraan hewan/animal welfare. Adanya pro-kontra pandangan masyarakat terkait penangkaran ilegal satwa liar melatarbelakangi Bidang Kebijakan Profesi PC IMAKAHI UNAIR untuk mengkaji dan mendiskusikan permasalahan ini dari ketiga aspek tersebut bersama dengan para mahasiswa FKH UNAIR.

Acara dibuka pukul 15.05 WIB, diawali dengan pembukaan lalu dilanjutkan dengan sesi pemaparan materi oleh Dr. Boedi Setiawan drh., M.P. yaitu dosen Departemen Klinik Veteriner di FKH UNAIR yang telah berpengalaman dalam bidang satwa liar. Dr. Boedi Setiawan drh., M.P. memaparkan materi seputar upaya penangkaran (termasuk tujuan penangkaran, regulasi, lembaga yang berwenang, kategori hewan yang boleh ditangkarkan, alur perizinan, dan persyaratan). Penangkaran bertujuan untuk memperbanyak jumlah spesies melalui pengembangbiakan dan pembesaran satwa dengan tetap mempertahankan kemurnian jenisnya, hal ini diatur dalam P.19/Menhut-II/2005 tanggal 19 Juli 2005 tentang Penangkaran Tumbuhan dan Satwa Liar. Dalam hal ini, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia membawahi berbagai lembaga yang berwenang dalam mengelola penangkaran. Beliau juga memaparkan bahwa ada beberapa persyaratan satwa yang boleh ditangkarkan (berdasarkan PP RI No. 8 Tahun 1999) salah satu yang paling penting adalah satwa yang ditangkarkan bukan hasil tangkapan dari alam liar, satwa kategori F2 (hewan generasi ketiga yang dihasilkan dari penangkaran), dan tergolong maksimal Appendix 2. Sementara satwa yang tergolong Appendix 1 dilarang. Dalam perencanaan penangkaran juga diwajibkan untuk mengikuti alur perizinan pembuatan sertifikat yang telah ditentukan oleh Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), hal ini diatur dalam Permentan Nomor : P.69/Menhut-II/2013. 

Selain menjelaskan mengenai pengaturan suatu penangkaran satwa liar, Dr. Boedi Setiawan drh., M.P. juga menjelaskan tentang berbagai macam masalah kesehatan pada satwa dan lingkungan penangkaran seperti penyakit - penyakit zoonosis yang berpotensi ditularkan oleh hewan ke manusia maupun sebaliknya apabila penangkaran ilegal tersebut tidak memiliki tenaga kesehatan hewan serta tidak menerapkan standar prosedur yang sesuai dalam pencegahan penyakit zoonosis. Dalam sesi pemaparan materi Dr. Boedi Setiawan drh., M.P. juga menjawab pertanyaan – pertanyaan dari para peserta tentang rincian persyaratan legalitas penangkaran, jalannya pengawasan penangkaran berizin oleh BKSDA, pelepasliaran hewan liar yang bukan endemik, dan pertanyaan terkait keputusan pembasmian hewan dalam penangkaran yang terkena penyakit zoonosis infeksius.

Sesi kedua merupakan sesi Forum Group Discussion. Peserta dibagi menjadi dua kelompok yang membahas ketiga poin diskusi yang sama. Poin diskusi pertama : 1) Pelanggaran animal welfare apa saja yang berpotensi terjadi dalam penangkaran ilegal satwa liar? 2) Jika penangkaran ilegal satwa liar sekadar menambah populasi, setujukan kamu bahwa penangkaran ilegal dapat dikatakan “menyelamatkan” satwa liar? Sertakan alasan 3) Solusi – solusi untuk menghentikan penangkaran ilegal satwa liar.

Poin diskusi pertama, kelompok pertama dan kedua setuju bahwa penangkaran ilegal satwa liar berpotensi melanggar kelima dari 5 freedoms of animal welfare, tidak adanya standard mulai dari kandang, kesehatan, dan kebutuhan nutrisi. Tidak adanya peran dokter hewan dalam proses pemeliharaan serta kandang yang berpotensi tidak sesuai dengan habitat alami baik ukuran, jarak, dan suasana menyebabkan satwa tidak dapat mengekspresikan perilaku alaminya. 

Poin diskusi kedua, semua peserta dari kelompok pertama tidak setuju, karena dalam penangkaran ilegal berpotensi hanya sekadar mengejar perbanyakan jumlah populasi namun masing – masing individu tidak terlalu diperhatikan kesehatannya (seperti agent parasit penyebab penyakit) karena tidak adanya dokter hewan yang melakukan kontrol rutin pada satwa.  Selain itu, selama animal welfare masih terlanggar maka penangkaran ilegal tidak dapat disebut menyelamatkan satwa.  Nantinya, penangkaran ilegal juga tidak melakukan pengawasan dan tanggung jawab lebih lanjut berkaitan dengan hidup satwa liar yang telah terjual di pemilik yang baru, tidak seperti BKSDA yang selalu melakukan pengawasan. Sementara itu, dari kelompok kedua terjadi perdebatan karena dalam beberapa kasus masih ditemukan penangkaran ilegal yang memiliki fasilitas dan kemampuan mengurus satwa dengan baik, walaupun tetap tidak dibenarkan secara hukum. Sementara yang lain berpendapat bahwa birokrasi pengajuan izin penangkaran sudah jelas dan tidak rumit sehingga perlu dipertanyakan alasan penangkaran tersebut tidak mengajukan izin. Pada kasus penangkaran ilegal yang sudah memiliki fasilitas sesuai standar sebaiknya tetap mendapatkan sanksi tetapi selanjutnya dibina oleh BKSDA.

Poin diskusi ketiga, kelompok pertama mengusulkan bahwa untuk menghentikan perdagangan ilegal bisa dimulai dari diri masing-masing dengan tidak melakukan transaksi/memelihara satwa liar serta mulai menghentikan persepsi bahwa satwa liar dipelihara itu wajar. Ada juga yang berpendapat untuk selalu melakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat tentang pelarangan memelihara dan memperjualbelikan satwa liar. Pendapat lain mengusulkan agar dibuat aturan tentang pelarangan mengunggah foto/video terkait memelihara satwa liar yang dilindungi di sosial media tanpa ada edukasi, karena hal ini dapat menyebabkan ‘trend’ dalam masyarakat awam yang tidak teredukasi untuk memelihara satwa liar juga untuk selalu melakukan report kepada laman e-commerce yang memperjualbelikan satwa liar.

Dari diskusi ini dapat disimpulkan bahwa penangkaran ilegal merupakan salah satu  tindakan melanggar hukum dan juga melanggar 5 freedoms of animal welfare karena  beberapa hal diantaranya adalah tidak ada standar prosedur atau syarat – syarat dalam mendirikannya, tidak ada pengawasan oleh lembaga yang berwenang, dan tidak adanya dokter hewan untuk mengontrol kesehatan satwa sehingga upaya perbanyakan jumlah satwa yang mungkin berhasil dilakukan oleh penangkar ilegal melalui breeding tidak berarti ‘menyelamatkan’ populasi satwa. Bahkan, setelah diperjualbelikan penangkar ilegal tidak melakukan pengawasan dan tidak memiliki pertanggungjawaban untuk menjaga terpenuhinya animal welfare satwa tersebut. Adapun beberapa solusi yang dapat kita berikan sebagai bagian dari masyarakat dalam menghentikan penangkaran ilegal satwa liar adalah sebagai berikut : tidak memelihara maupun memperjualbelikan satwa liar, mengedukasi sekitar tentang pelarangan memelihara/ memperjualbelikan satwa liar melalui sosial media maupun penyuluhan atau sosialisasi. Dalam diskusi ini, juga terdapat pemikiran untuk memberikan saran kepada Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia, Kementrian Pertanian, dan Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk mempertimbangkan pelarangan mengunggah foto/video satwa liar dilindungi ke media sosial dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik. 













Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer